"Berharap" A Short Story

(Koleksi Cerita Pendek Kelas XI-4, Tahun 2023)

        Dingin…

Credit: pinterest

        Aku duduk terdiam di salah satu kursi pojok ruangan café. Sepi dan dingin adalah suasana yang terasa tebal sekarang. Café yang seharusnya sudah tutup daritadi, masih harus menampung satu pelanggan yang terjebak hujan pada malam hari ini. Aku memesan secangkir Matcha Latte hangat berharap dapat menemaniku di tengah dinginnya udara hujan sekarang. Pandangan ku tidak bisa lepas dari pemandangan luar jendela café ini. Basah dan redup, air yang berjatuhan deras membasahi sekitar.

Suara rintikan air hujan tersebut berisik, tetapi ironisnya memberikan ketenangan untuk diriku setiap kali. Hawa hujan yang dingin seakan mengantarkanku untuk merenung dengan pikiran kosong. Layaknya magis, dengan hembusan angin dari air yang berjatuhan tersebut langsung mengosongkan segala pikiran yang ada di otakku. Seketika pandanganku terlekat pada jendela, badan beku tak bergerak mengarah ke apa yang aku pandang, hanya ada gerakan pernafasan saja pada saat itu. Namun, hujan bukanlah sepenuhnya alasan atau penyebab dari pikiran kosongku sekarang.

"Kala!" Ucap seseorang menepuk pundakku.

Aku terkejut, Lamunanku langsung buyar, aku menoleh ke belakang melepas pandangan ku terhadap jendela.

"Meyra..." Ujarku mengeluh, dengan ekspresi kesal.

Perempuan berhijab hitam dengan seragam pegawai café tersebut tersenyum dengan jahil, dia menarik kursi kosong di depanku mendekati posisiku. Meyra adalah temanku dari SMA, dia bekerja sebagai barista di café ini. Dia juga yang membuatkan pesanan Matcha Latte-ku tadi, pesanan yang sama dari seluruh waktu aku mengunjungi café ini. Hal ini juga menjadi alasan aku dapat berada di tempat ini cukup lama meskipun waktu operasionalnya sudah habis untuk hari ini.

"Jangan ngagetin orang sekali aja, bisa gak?" Ucapku membuang muka.

"Jangan ngelamun sekali aja, bisa gak?" Balas Meyra dengan nada mengejek, aku tidak memberikan respon lanjutan.

"Bukan pas hujan aja loh. Hampir setiap waktu, kamu ngelamun. Sadar gak kamu, Kal?" Tanya Meyra, aku terbungkam lagi-lagi tak ingin memberikan balasan.

Aku menyadarinya dengan jelas. Sudah dari awal juga aku mengatakan bahwa hujan bukanlah sepenuhnya alasan aku melamun barusan ini. Hampir setiap hari dan setiap waktu aku merenung dengan pikiran kosong. Pagi hari, aku mengawali hari dengan melamun seakan melamun adalah sarapan bagiku. Siang hari, setiap kali aku hendak menggoreskan pensil pada kertas, rencana penyelesaian karyaku akan terus tertunda diakibatkan lamunanku pada waktu yang tidak tertentu, memandangi berbagai sudut ruangan kerjaku dengan pikiran kosong. Sore hari, dimana waktu senja bermulai, pemandangan langit yang indah malah menghantarkan ku kembali ke lamunanku. Malam hari, Ah, tak perlu dijelaskan, justru malam adalah waktu melamun untuk kebanyakan orang. Jika kebanyakan orang melamun pada waktu malam tepat sebelum tidur, pastinya aku pun tidak akan absen melakukannya. Kebiasaaan yang memang seharusnya aku hindari, namun entah apa alasan yang mengakibatkan aku seperti ini.

"Kalau lagi ada masalah cerita, Kal. Jangan dibuat ngelamun... Bukannya masalahmu selesai, nambah masalah lagi." Ujar Meyra sembari merangkul bahuku.

Masalah ya? Ah, sepertinya itu faktor utama dari kebiasaanku sejauh ini. Berbagai hal yang terlalu menggunung sampai-sampai aku malas memikirkannya dan memilih untuk memendamnya dengan melamun. 

"Nambah masalah gimana emang?" Tanyaku mencoba mengalihkan topik utama.

"Kesurupan, nambah masalah kan tuh." Balas Meyra sambil tersenyum tengil dan cekikikan. Aku menggeleng kesal dan menjauhkan badannya dari diriku.

"Kal, gausah nyoba mengalihkan pembicaraan deh. Ada apa? Cerita dong." Ujar Meyra, seakan membaca pikiranku pada saat itu.

Aku terdiam sejenak, memikirkan ‘masalah’ yang menjadi penyebab dari lamunan ku ini. Masalah apa saja memangnya? Masalah keuangan, kehidupan kuliah dengan pekerjaan freelancer memang tak bisa dikatakan mudah, tetapi bukan itu. Masalah kesehatan, aku tidak merasa masalah kesehatan membuatku seperti ini. Masalah apa yang bisa membuatku sampai di titik ini?

"Meyra?" Ujar seorang perempuan, sepertinya teman kerja Meyra. Panggilan itu membuat kami berdua serentak menoleh ke arah sumber suara tersebut. "Aku pulang duluan ya? Kalau hujan udah reda, cepetan pulang. Jangan lupa kuncinya di rak biasanya." Lanjutnya sembari mengenakan jas hujan di depan pintu.

"Ohh siap, Sis. Hati- hati, Titip salam sama cowokmu!" Balas Meyra basa-basi sambil tertawa kecil.

"Iya, iya." Respon perempuan itu pergi keluar dari café dan terlihat dari jendela dia menghampiri motor milik cowoknya, lalu langsung melesat pergi. Melihat pemandangan tersebut, aku seketika merenung. Sepertinya, itulah masalah utamanya.

"Mey, kayaknya aku melamun terus karena gapunya pacar, deh. " Ucapku secara tiba-tiba. Meyra terjeda sejenak, menatapku dan seketika langsung tertawa terbahak-bahak.

"Kok malah ketawa sih, Mey?" Keluhku kesal, menepuk bahunya dengan kesal.

"Gimana ga ketawa, Kal. Astaga, kamu kocak banget," Meyra menghela nafas, "sorry, sorry. Aku nggak menduga kamu ngomong kayak gitu. Kala seorang ’Cewek Independent’ Kala yang selalu bersikeras bilang kalau dia pengen jadi single, nggak mau berhubungan dengan siapapun. Selalu bilang kalau ‘aku gak butuh seorang cowok untuk melengkapi hidupnya’. Selalu bilang dia pengen fokus karir dulu, bukan cowok-"

"Iya! Udah berhenti." Ucapku memotong perkataanya dengan muak, Meyra masih tertawa dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Banyak dari temanku mengenaliku sebagai ‘Cewek Independent’ yang berarti perempuan yang mandiri dan tidak sering bergantung pada orang lain. Panggilan itu diberikan kepadaku, bukan karena aku yang selalu bersifat mandiri. Namun, dikarenakan aku yang memang tidak pernah terlihat memiliki pacar atau kekasih. Aku membela statusku dengan alasan bahwa aku ‘Ingin fokus karir, bukan cinta’. Hal tersebut akhirnya membuat mereka beranggapan bahwa aku memang tidak membutuhkan kekasih di dalam hidupku. Tidak bisa kupungkiri juga aku sempat beranggapan hal yang sama, tetapi pada saat ini anggapanku terbukti salah.

"Aku memang heran sama diriku sendiri, Mey. Aku juga mikir untuk waktu yang lama aku gabakal butuh seseorang, gabakal butuh seorang cowok atau kekasih. Tetapi lama-kelamaan, semakin teman-teman ku semua sibuk dengan hidupnya sendiri-sendiri, semakin kita berdua juga sudah sibuk sama masalah sendiri-sendiri. Aku ngerasa kesepian. Kalian semua sudah punya kekasihnya sendiri-sendiri, sementara aku gapunya siapa-siapa," Ujarku menunduk, atmosfirnya seketika menjadi lebih dingin. Meyra terbungkam, "aku juga gabakal memaksa kalian untuk menemaniku terus, tetapi aku tidak tertarik untuk memulai hubungan dengan siapapun."

"Dari awal itulah kesalahanmu, Kal. Kamu selalu ga tertarik untuk memulai hubungan dengan siapapun. Padahal sudah banyak yang ngejar kamu dan nyoba menangin hatimu." Balas Meyra mencengkram kedua pundakku.

"Aku tahu, Mey. Hanya saja aku-"

"Apa? Nunggu cowokmu yang dulu itu? Kamu menanti cowok yang udah ninggalin kamu, sementara banyak cowok lain yang menanti kamu?" Ujar Meyra memotong ucapanku, "Kal, kamu nungguin cowok yang sedari awal hubungan kalian itu ga jelas, komitmen yang ada di hubungan kalian juga nggak jelas tujuannya kemana. Kamu berharap pada hal yang nggak jelas, Kal. Kamu juga tahu sendiri dia sudah punya pacar!” Nafasku tertahan mendengar kata demi kata yang diucapkan Meyra.

"Kala, aku tahu ini semua pilihanmu, aku ga berhak mengatur apa yang kamu tentukan dalam kehidupanmu sendiri. Tapi, lama kelamaan pilihanmu malah merugikan dirimu sendiri, pilihlah apa yang sudah jelas akan menguntungkanmu, Kal. Jangan terlalu memegang harapan bahwa orang yang kamu nantikan ini juga turut menantikanmu," Meyra melepas kedua tangannya dari pundakku, "move on, Kal." Tutur Meyra.

Kalimat terakhir yang dilontarkan Meyra tersebut mengakhiri percakapan kami pada malam itu. Kami berdua kembali ke kediaman masing-masing. Sepanjang perjalanan aku kembali ke rumahku dengan motor vespaku, kata-kata Meyra mengitari pikiranku. Seluruh kata-katanya menusuk hatiku dan menyadarkan pemikiranku yang telah lama tidur.

Alasan utama yang membuatku tidak pernah memulai hubungan baru dengan lelaki yang pernah mengejarku bukanlah karena aku tidak membutuhkan sosok kekasih yang selalu menemaniku, melainkan aku sedang menunggu kembalinya lelaki pertama yang pernah mencuri hatiku dulunya. Lelaki pertama yang benar-benar membuatku merasa serunya jatuh cinta, lelaki pertama yang benar-benar membuatku merasa dicintai. Aku tidak peduli kisah cinta itu hanya berlangsung pada awal masa SMA, aku tidak peduli kisah cinta kami pada masa itu hanyalah kisah cinta monyet yang sepele dan aku tidak peduli kita memang belum pernah memiliki status yang tetap. Dia benar-benar membuatku merasa dihargai dan dianggap. Tidak semua orang dapat memberikan hal ini kepadaku, tetapi dia bisa. Aku tidak ingin melepaskan dirinya.

Sesampainya aku di kost yang sementara aku sebut rumah itu, aku melepas kedua sepatuku dan langsung menuju ke dalam kamarku. Aku melepas jaket biruku yang sedikit basah dikarenakan hujan tadi, lalu langsung membantingkan tubuhku ke kasur. Aku menenggelamkan wajahku di bantal empukku, mencoba mengistirahatkan seluruh ototku. Sepertinya perbincangan tadi benar-benar menguras energiku. Apalagi kata-kata Meyra masih melekat di otakku, sampai di kasur pun aku tidak bisa melepas pikiran ini.

Aku menghela nafas dan memejamkan mataku, aku mencoba menenangkan hatiku sejenak dan melupakan seluruh perbincangan tadi.

"Sepertinya ... Memang sudah waktuku untuk berhenti." Ujarku kepada diriku sendiri, dan pada akhirnya menghantarku untuk terlelap.

****

Rasanya hanya beberapa jam berlalu saat aku terlelap, suara kicauan burung sudah berbunyi membangunkanku layaknya alarm dari handphone-ku. Aku membuka kedua mataku, memandangi langit-langit kamarku yang sudah terpancar cahaya mentari pagi dari jendela kamarku. Aku mengusap wajahku, menghela nafas untuk melepas rasa letih di sekujur badanku yang seharusnya menghilang saat diriku tertidur.

Entah seberapa banyak energi ku yang terkuras kemarin malam. Biasanya, peristiwa seperti ini hanya terjadi saat tugas-tugas kuliah menumpuk atau pesanan klien yang membludak. Tetapi pembicaraan dan pikiran ku kemarin benar-benar membuat diriku mengerahkan seluruh tenagaku yang tersisa.

Apakah membuka luka lama memang selalu sesakit itu? Batinku.

Setelah mengumpulkan kesadaranku yang terkapar dimana-mana, aku menjalani kebiasaan pagi hariku seperti biasanya. Membersihkan badan, memakai pakaian, membersihkan kamar, dan akhirnya bersiap-siap untuk mengerjakan pesanan klien demi melancarkan pendapatan kehidupanku. Setelah kamarku terlihat rapi dan nyaman, aku hendak menuju ke meja kerjaku. Namun, suara perutku menghentikan tujuan utamaku dan otomatis mengarahkanku ke kulkas di ruangan sebelah.

Pintu kulkas kubuka, pemandangan kulkas yang mengenaskan. Hampir tidak ada makanan, minuman ataupun bahan makanan yang mengisi lemari es ini. Pemandangan ini membuatku merenung apa saja yang telah aku lakukan sampai-sampai sumber makananku bisa sekosong ini. Setelah aku renungkan, sepertinya aku memang terlalu sering memesan makanan online dibandingkan menghemat uang dengan memasak makananku sendiri. Aku menghela nafas dan menepuk jidatku, menyesalkan diriku sendiri.

Aku pun beranjak dari posisiku, mengambil kunci motor, lalu mengenakan jaket yang keduanya terletak di gantungan baju dekat pintu dan langsung keluar meninggalkan ruanganku. Aku menyalakan motor vespaku, mengendarainya menuju ke arah supermarket yang berada di gang sebelah.

Sesampainya disana, aku mengambil beberapa roti dan keripik kentang serta bahan makanan untuk mengurangi kebiasaan borosku. Entah kenapa saat berada di tempat itu aku merasa ganjil. Badanku seakan memberikan peringatan terhadap sesuatu yang familiar, sementara pandanganku terhadap sekitar tidak menemukan alasan yang spesifik atas mengapa perasaan ini tiba-tiba muncul. Sampai pada saat aku menuju kasir, mengantrikan diri sesuai urutan yang ada. Hal yang tidak pernah aku duga terjadi sekarang tepat pada detik ini.

Rama?! Batinku dengan ekspresi terkejut.

Tepat di depanku, berada di tempat yang sama dan waktu yang sama. Kudapati lelaki yang mengenakan kaos hitam ditimpa dengan jaket coklat, berambut ikal sedikit berantakan, dengan tampang wajah yang aku kenali dari dulu sampai sekarang. Putra Bagus Ramayana, itulah namanya. Lelaki yang sedari kemarin menjadi perbincangan antara aku dan Meyra, lelaki yang sedari kemarin menghantui pikiranku hingga aku terlelap, lelaki yang sedari dulu selalu singgah di hatiku. Melihatnya, nafasku tercekat badan membeku tak bisa bergerak. Sempat beberapa kali aku mencoba mengedipkan mataku untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar berada di depanku sekarang.

Berdiri diam terlalu lama tak jauh di belakangnya, dia pun menoleh ke belakang. Sepertinya punggungnya panas merasa ada yang memandanginya sedari tadi. Mata kami berdua pun bertemuan, dengan masing-masing wajah memasang ekspresi tercengang. Tidak ada dari kami berdua yang menduga bahwa kedua insan ini akan dipertemukan setelah sekian lamanya alam menyembunyikan satu sama lain.

"Kala?" Panggilan yang berasal dari suaranya membuatku semakin tidak percaya hal ini terjadi, meskipun jauh di lubuk hatiku momen ini adalah hal yang sangat aku nantikan dari dulu.

Aku menarik nafasku setelah rasanya kehabisan pasokan udara diakibatkan pernafasanku yang terjeda. Memberanikan mataku untuk membalas tatapannya serta memberanikan diriku untuk meresponnya.

"Hai, Rama. Lama nggak ketemu." Ujarku dengan sekuat tenaga memasang senyum untuk menyambut kehadirannya.

"Lama banget..." Rama tersenyum menunjukkan lesung pipi khasnya, lalu mendekat ke posisiku, "gimana kabarmu, Kala?" Tanyanya, aku tersentak mendengar pertanyaan tersebut.

"Hahah, baik kok semoga aja." Balasku tertawa kecil, Rama menatapku heran.

"Maksudnya ’semoga aja’ gimana?" Tanya Rama mengambil hati beberapa kata ucapanku.

Maksudnya aku gak baik-baik saja, sialan! Ditambah ketemu elu ini, Arghh!

"Ah, nggak perlu khawatir. Lo sendiri gimana, Ma?" Tanyaku mencoba menatap wajahnya tanpa menghiraukan batinku yang barusan merutukinya.

"Hm, gatau sih." Jawabnya sembari mengalihkan pandangannya.

"Lah, kok gitu jawabannya?" Tanyaku heran.

"Aku juga bingung sama diriku sendiri, La," Rama menunduk, memandangi lantai putih supermarket, "nggak bisa bohong, setelah aku pindah sekolah dulu, berpisah denganmu, semuanya berubah, La." Jawabnya.

Aku tertegun mendengarnya. Kata-kata yang tidak aku duga akan dilontarkan sebegitu cepatnya. Aku terdiam hingga menyadari entah sudah berapa kali orang menyusup antrian kita.

"Kala, jujur semuanya-"

"Ma, bisa dibicarain di luar aja? Ga enak sama orang yang mau bayar." Ucapku sengaja memotong pembicaraannya. Rama yang akhirnya turut menyadari hal tersebut pun mengangguk.

Kami berdua segera menyelesaikan transaksi masing-masing dan beranjak keluar dari supermarket. Kami memilih untuk melanjutkan obrolan kita di parkiran depan supermarket. Rama berdiri di depanku, memandangiku dengan tatapan yang berharap.

"Oke, lanjutkan apa yang mau lo ungkapin." Ujarku mengalihkan pandanganku dan mempersiapkan telingaku untuk mendengar apa saja yang disampaikan olehnnya.

"Jujur, semuanya berubah setelah waktu itu, La. Aku benar-benar nggak bisa menghadapi seluruh perubahan tersebut. Situasi, lingkungan, banyak hal. Aku sendiri ga bisa menerima kenyataan bahwa aku harus berpisah sama kamu, La. Aku bener-bener nggak bisa. Perubahan ini pun lama kelamaan hanya mengarahkanku ke jalan yang salah." Ungkapnya  memandangiku dengan ekspresi seperti putus asa.

"Lantas kenapa, Ma?" Aku menatap Rama, "lantas kenapa lo tiba-tiba ngomongin ini semua ke gue? Dari semua kesempatan dulunya, kenapa sekarang?" Pertanyaan yang sedaritadi kupendam akhirnya kuucapkan.

"Bukannya, jelas? Aku masih ada perasaan di kamu, La." Ucapnya ditekankan dengan enteng. Kalimat itu adalah kalimat yang menjawab segala pertanyaanku selama ini, tetapi kenapa kalimat itu justru menarik emosiku?

"Lo beneran mengherankan, Ma. Setelah lama menghilang dari pandangan gue, lo sama sekali nggak ngehubungin, nggak menemuiku meskipun ada kesempatan, terus tiba-tiba muncul aja di depan gue ngomong kayak gitu," Aku menarik nafasku, "lo gatau rasanya ya digantung selama itu, berada di ujung-ujung antara pilihan untuk tetap berharap atau melepas. Selama itu, Ma! Sampai-sampai gue liat lo punya pacar baru aja, gue masih berharap lo bakalan putus dan kembali ke gue. Saat itu gue hampir melepas seluruh harapan gue, Ma. Tapi hati gue tetap kembali ke lo! Gue berusaha untuk ngehindarin seluruh postinganmu yang menunjukkan hubungan manis mu itu demi mempertahankan harapan gue ke lo. Tapi nyatanya apa? Lo tetep ga balik ke gue." Rasanya semua uneg-uneg hatiku terkeluarkan pada detik itu.

"Gue rela menolak siapapun yang ingin pacaran sama gue karena gue masih berharap lo akan kembali ke gue. Sebanyak itu yang aku lakuin demi lo," Aku mengepalkan tanganku dan menunduk, "tapi sekarang lo udah kembali, Ma. Bukankah itu berarti usaha gue terbayar? Hahah, nggak salah Ma. Tapi sudah terlalu lama gue megang harapan itu, Sudah terlampau lama gue sakit ngeliat lo bisa bahagia sementara gue enggak. Gue udah gamau megang harapan itu lagi, Ma." Ujarku masih dengan menunduk, tak berani memandang Rama setelah seluruh kata-kata itu.

"Kamu nggak perlu megang harapan itu lagi, La," Rama meletakkan kantong plastik belanjanya dan memegang kedua tanganku, "maafkan aku, Kala. Aku memang kurang ajar dan keterlaluan, nggak mikirin kamu sama sekali. Tapi kumohon, kasih aku kesempatan kedua, La. Kasih aku kesempatan lagi untuk memenuhi harapanmu, kembali lagi seperti dulu dan menyudahi rasa sakitmu." Ujarnya merengkuh erat kedua tanganku, menatapku dengan lekat.

Sentuhan tangannya terasa sangat hangat. Aku mendongakkan kepalaku, membalas tatapannya. Aku menyadari ekspresi seriusnya itu, masih sama dari dulu. Tanpa kusadari jantungku berdegup kencang dengan sentuhan dan tatapannya itu. Sial, hatiku memang tidak bisa diajak berkompromi. Hatiku memang tidak bisa berbohong, aku sangat amat merindukan Rama.

Aku terdiam disana, kepalaku penuh dengan banyak pikiran sekarang. Aku dilema, momen ini adalah momen yang dari dulu sampai sekarang aku nantikan, aku harapkan. Inilah momen yang aku selalu usahakan, namun rasanya ada suatu hal yang menahanku untuk mengambil kesempatan ini.

Memang dengan aku mengambil kesempatan kali ini, apakah terjamin kita akan kembali seperti dulunya? Dunia kita sudah terlampau berbeda sekarang, sikap dan sifat yang sejauh ini aku melihat menunjukkan bahwa dia juga sudah jauh dari Rama yang pernah aku kenal, bagaimana jika hubungan kita hanya akan berakhir lagi dan aku tersakiti lagi? Dia juga memilih untuk berpacaran dengan lainnya di saat aku masih berharap untuknya, apakah dia bisa dipercayai penuh untuk setia kepadaku dan tidak memilih dengan lainnya?

Tetapi, hanya dia lah yang aku inginkan sekarang. Bukankah itu yang membuatmu menunggu selama ini, Kal? Batinku. Seakan hati dan otakku saling bertempur, rasanya rumit sekali untuk menentukan apa yang harus aku lakukan sekarang.

"Sepertinya kamu memang butuh waktu untuk berpikir dulu, La. Aku minta maaf sampai membingungkanmu terus seperti ini. Untuk kali ini, giliran aku yang menunggu, La. Hubungi aku saja, ya?" Ujar Rama dengan nada kecewa, dia melepas genggaman tangannya dan mengambil kantong plastik yang dia letakkan tadi. Rama hendak pergi dari pandanganku, seperti kilat aku menahan lengannya.

"Aku masih menginginkanmu, Rama," Aku mengeratkan genggamanku, Rama terhenti dan menatapku yang masih menunduk, "untuk kali ini, jangan tinggalin aku lagi." Keputusanku sudah aku tetapkan, aku mendongak membalas tatapannya dan mendapati senyuman lega dari Rama.

"Nggak akan." Balas singkat Rama.

****

Aku duduk terdiam di kursi pojok ruangan café. Cuaca yang cerah menyinari seisi ruangan ini, ditambah dengan suasana hatiku yang cerah pada pagi hari ini. Sembari menyeruput Matcha Latte minuman kesukaanku, aku memandangi layar Handphone-ku dengan tersenyum.

Hanya 2 hari berlalu setelah momen itu terjadi,  Aku dan Rama langsung mencoba menggali ulang dan mengenal kembali satu sama lain. Kita berdua masih bisa berinteraksi persis seperti dulu, seakan kembali seperti dulu. Rasanya seperti berada di masa-masa remaja yang tidak memikirkan urusan lain selain mereka berdua saja. Tak bisa memungkiri, aku sangat menyukainya.

Aku berpikir, entah apa yang terjadi jika aku tidak menerima kesempatanku pada saat itu? Paling aku tidak akan merasakan perasaan seperti ini dan malah hanya fokus bekerja.

"Cieee... yang akhirnya punya pacar beneran nih." Ujar Meyra mengetuk bahuku dan mengejutkanku.

"Apasih Mey, ngagetin aja." Balasku singkat dengan kesal.

"Gini nih kalau udah punya pacar, sama temennya udah kasar." Ucap Meyra sambil merengut.

Ding! Notifikasi Handphone-ku berbunyi.

"Ah, aku harus pergi sekarang. Duluan ya, Mey!" Ucapku langsung menghabiskan Matcha Latteku, tanpa menghiraukan kata-kata Meyra tadi. Lalu, langsung beranjak pergi meninggalkannya.

"Kalau udah pacaran gaboleh lupain temennya, woi!" Teriak Meyra dari kejauhan, aku hanya tersenyum dengan menggeleng-geleng.

Aku keluar dari café tersebut, hendak menuju ke taman tak jauh dari sini. Tempat dimana aku dan Rama hendak berkencan. Tetapi setelah aku keluar dari sana, seorang wanita familiar memberhentikanku, kalau tidak salah ini teman dari Meyra alias pelayan di café ini juga.

"Kamu Kala, kan?" Tanyanya singkat dan kubalas dengan mengangguk dan memasang ekspresi kebingungan.

"Aku tahu kamu sekarang pacar baru dari Rama," Aku tercekat mendengar kalimat yang baru saja disuarakan oleh wanita ini, "aku akan langsung to the point sekarang. Aku Siska, mantannya Rama. Sebelum kamu salah paham, aku disini enggak bakal mengancammu atau apa, tetapi aku akan memberitahumu sesuatu." Ucapnya dengan ekspresi yang gelisah.

"Ada apa, Siska?" Tanyaku penasaran.

"Maaf, kalau aku akan merusak apapun hubungan kalian sekarang. Tapi tolong jauhi Rama, Kal. Dia bukanlah lelaki yang kamu kira." Jawab Siska sembari merogoh sesuatu di tasnya.

"Apa-apaan maksudmu?" Ucapku hampir tersulut emosi saat mendengar hal tersebut, masih memiliki kepercayaan terhadap Rama.

"Dengar, aku berpacaran tidak cukup lama dengan Rama. Tetapi entah pada saat itu aku sangat-amat mencintainya dan percaya bahwa kita berdua jelas sudah mencintai satu sama lain. Sehingga pada suatu saat, kami berhubungan dengan aku yakin bahwa nantinya kita akan berpindah ke kehidupan yang lebih serius," Siska menyodorkanku sebuah foto dan kertas hasil lab. Nafasku tercekat mendengarnya dan melihat benda yang diberikannya, "pada akhirnya, aku hamil dengan anaknya, Kala. Aku sendiri terkejut, namun aku tidak merasa kecewa dan malah bahagia, ini berarti aku bisa menjalani hidup dengannya. Tetapi, betapa salahnya aku ketika mengharapkan bahwa dia juga akan turut senang. Dia meninggalkanku, Kala." Ucapnya sembari menangis seenggukan.

Aku benar-benar syok, hati yang riang gembira tadi seakan seperti gelas langsung pecah berkeping-keping. Aku terbungkam dengan kecewa, marah, sedih yang bercampur aduk, membekukan diriku. Rama yang selalu aku harapkan, Rama yang selalu aku nantikan, dan Rama yang telah aku dapatkan, telah kabur meninggalkan wanita yang dihamilinya dan kembali kepada ku?

Tak kusadari, air mataku yang hangat jatuh mengalir di pipiku. Aku tidak bisa merespon wanita malang di depanku ini dengan apapun kecuali pelukan.

Dasar Kala bodoh.

Siang hari itu, cuacanya mendung dan gelap dibandingkan cerahnya pagi hari tadi. Aku terdiam terduduk di ayunan taman kecil ini sembari memandangi langit yang tak lama lagi menangis itu. Melamun sekali lagi dengan pikiran kosong, tetapi langsung dibuyarkan oleh suara motor yang terparkir di dekat ayunan ini.

"Hey, La! Maaf tadi aku kejebak macet, padahal aku tadi bilangnya udah mau dateng. Pasti kamu nunggu lama, ya?" Ucap seorang lelaki itu menghampiriku di ayunan tersebut.

Aku menundukkan kepalaku, beralih pandangan dari langit ke wajah si Rama. Wajahnya secara langsung memenuhi pikiranku dengan emosi.

"Aku tadi bawa jajan buat kamu-"

"Rama, ayo kita putus." Ucapku memotongnya dengan singkat.

"Hah, La? Ada apa?" Rama yang sedari tadi tersenyum dengan ramah, langsung berubah menjadi terkejut setelah mendengar ucapanku.

"Iya, putus. Jelas kan omongan gue?" Jawabku langsung beranjak dari ayunan tersebut dan hendak menjauhinya, tetapi aku ditahan olehnya.

"Sama sekali nggak jelas. Ada apa, La? Katamu kamu mau ngasih aku kesempatan kedua dan kembali lagi bersama, terus kenapa tiba-tiba kamu malah putus? Jelasin ke aku!" Tanya Rama dengan nada yang tidak terima. Aku menghela nafasku.

"Iya, gue emang kasih lo kesempatan kedua. Tapi gue baru saja tahu, kalau itu keputusan yang salah," Aku mengambil secarik kertas dan foto di saku jaketku dan menunjukkannya, "gue salah karena telah memberikan kesempatan ke orang yang brengsek." Kataku singkat, Rama terkejut tidak main dengan ekspresi yang sudah tidak terbentuk.

"Kamu dapet dari mana-"

"Hahah! Lo malah nanyain itu? Hahahah Jadi lo emang nyoba nyembunyiin ini semua dari gue? Terus saat lo tahu siapa yang ngasih ini, lo bakal teror dia gitu, ya?" Aku tertawa tidak terima, "Gue dari awal sudah bilang, gue udah nggak mau berharap lagi sama lo, Ma. Sudah terlalu lama gue tersakiti karena hal itu.  Gue kira dengan menerimamu kembali, gue akhirnya melepas harapan itu dan rasa sakit itu. Tapi malah-malah, rasa sakit gue meningkat dua kali lipat!" Ujarku bersamaan dengan mulainya hujan.

"Secara langsung ini semua berarti gue cuma jadi pelarian lo doang! Lo kabur dari tanggung jawab lo, dan kembali ke gue dengan tujuan untuk menghindari segala masalah lo. Gue yakin saat lo minta kesempatan kedua itu, dengan entengnya lo gak khawatir karena gue pasti bakal nerima lo kembali! Sialan!" Emosiku sudah berada di ujung dan Rama hanya terbungkam, "gue bener-bener tertipu sama semua trik lo tau nggak? Gue mudah banget jatuh di jurang lo, hanya karena alasan gue pengen bahagia. Cuma bahagia, Ma." Ucapku dengan nafas yang tersengkal, rasanya air mataku mulai mengalir, sykurlah tertutupi dengan air hujan yang berjatuhan.

"Denger, La. Aku bisa jelasin-"

"Jelasin apa lagi, brengsek?! Gue udah gak peduli sama seluruh alasan lo!" Teriakku dengan keras memotongnya lagi, "gak hanya lo nyakitin hati dan raga gue. Lo juga nyakitin hati cewek lain! Bukannya tanggung jawab malah ninggalin seenaknya dan berlagak kayak lo ga salah apa-apa. Gue yang sama-sama cewek, juga turut ngerasa harga diri gue diinjak-injak sama lelaki sialan kayak lo!" Ujarku mendorong keras pundaknya dengan gusar.

Rasanya pada saat itu hanyalah panasnya hati, siraman air hujan sama sekali tidak memengaruhi diriku. Dengan badan yang basah kuyup, aku masih bisa berdiri dengan tegap menghadapi Rama tanpa menggigil.

"Kala dengerin aku, kamu bukan pelarianku, kamu bukan alasan aku kabur, aku emang bener-bener cinta sama kamu!" Ucap Rama masih sempat bersuara dan berusaha menjelaskan.

"Kalau begitu, gue udah ga cinta sama lo, Ma." Balasku singkat, menyudahi percakapan ini. Aku pergi beranjak melewatinya yang masih berdiri lemah di depanku.

Aku yang sudah berada sedikit jauh dari posisi Rama, membalikkan badanku dan melihat Rama masih terdiam dan memandangiku dengan tatapan sendu.

"Jika lo masih cinta sama gue, lakuin permintaanku," Rama memandangku menanti apa permintaan yang aku inginkan, "Jangan dekatin dan hubungin gue lagi. Gue mohon kembali lah ke perempuan itu, dan bertanggung jawablah. Jangan sakitin siapa-siaSecopa lagi." Aku menghela nafas dan membalikkan badanku. "Selamat tinggal, Rama."

Aku kembali berpikir, entah apa yang terjadi jika aku tidak menerima kesempatanku pada saat itu? Sekarang aku tahu jawaban yang jelas. Aku tidak akan merasa sesakit ini di akhir.

Kali ini aku berharap untuk dijauhkan darimu selamanya, Rama.

By Kandi Aliya XI-4 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Storyboard Konstitusi Pendidikan Pancasila

A Little Introduction About Karyadi Empire!